Sabtu, 07 November 2015



Spesies Terbaru
Snub-Nosed Monkey (Monyet Hidung Pesek)
Seorang pria memperlihatkan salah satu spesies hewan baru yaitu monyet hidung pesek (snub-nosed monkey) yang terbunuh saat dia mencari makan di Myanmar (Burma) pada tahun 2010. (foto : Ngwe Lwin)
Setiap bulan Mei, International Institute for Species Exploration yang bertempat di Arizona State University (ASU), bersama dengan International Committee of Taxonomists, mengumumkan beberapa pilihannya mengenai 10 terbaik penemuan spesies terbaru yang secara resmi telah diakui pada tahun sebelumnya. Para peserta diperbolehkan untuk menggambarkan kriterianya oleh mereka sendiri, dan proses penamaannya bisa berdasar dari hal-hal unik untuk pemberian nama dari spesies tersebut.

Waktu pengumuman tersebut disesuaikan untuk merayakan hari ulang tahun Carolus Linnaeus yang jatuh pada tanggal 23 Mei. Dialah yang telah mengembangkan sistem penamaan tumbuhan dan hewan secara ilmiah sejak 250 tahun yang lalu.
jika kita tidak menempatkan dan memasukkan mereka ke dalam keanekaragaman hayati supaya mereka dapat dikenal dan memberikan nama untuk mereka untuk menunjukkan kontribusi mereka yang unik di keragaman ekologi dan proses evolusi, maka kita tidak bisa berharap kepada orang lain untuk menghargai keberadaan mereka”, kata Quentin Wheeler, rektor dari Arizona State University (ASU) di sebuah emailnya.
Wheeler  berkata, “Umat manusia perlu diingatkan juga bahwa mereka adalah 1 dari 12 juta spesies makhluk hidup yang hidup di muka bumi ini”.
Seorang pria memperlihatkan salah satu spesies hewan baru yaitu monyet hidung pesek (snub-nosed monkey) yang terbunuh saat dia mencari makan di Myanmar (Burma) pada tahun 2010.
Hal pertama yang dipelajari oleh para ilmuwan yaitu “Snubby’, yang merupakan julukan bagi spesies kera baru, yang di dapatkan dari pemburu di tempat-tempat terpencil di Myanmar, wilayah pegunungan Kachin.
Julukan lain untuk hewan ini yaitu Rhinopithecus strykeri, binatang aneh yang memiliki bibir tebal, berhidung seperti terbalik, dan mempunyai cara bernafas yang aneh, yaitu apabila air hujan jatuh pada hidung mereka maka pasti akan menyebabkan mereka bersin, sehingga mereka menghabiskan hari-hari mereka pada waktu musim hujan dengan menyelipkan kepala mereka diantara lutut mereka.




Nyamuk Mandul Dapat Memberantas DBD
Metode pengasapan insektisida untuk memberantas nyamuk demam berdarah dengue belumlah optimal, bahkan membuat nyamuk Aedes aegypti — vektor DBD — menjadi resistan. Kini, ada alternatif mengurangi populasi nyamuk, yakni menebarkan nyamuk-nyamuk mandul.
Bergelut dengan nyamuk sejak tahun 2004, Ali Rahayu, peneliti pada Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), membuktikan, teknologi serangga mandul (TSM) mampu mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti. Teknologi serupa sebelumnya sukses diterapkan pada eradikasi lalat ternak Cochliomyia hominivorax di Pulau Curacao, Amerika Serikat, tahun 1958-1959. Di Indonesia, penelitian fokus pada pengendalian populasi lalat buah Bactrocera carambolae serta nyamuk vektor DBD dan malaria.
Secara teknis, nyamuk jantan dimandulkan dengan diberi paparan radiasi sinar gamma sebesar 70 gray. Nyamuk dimasukkan dalam tabung-tabung kaca berukuran sama dan diletakkan dalam jarak tertentu dari sumber radiasi. Dua menit saja, ratusan hingga ribuan nyamuk menjadi mandul karena kerja sperma mereka terganggu.
Nyamuk Aedes aegipty. (Foto: Kompas)

Paparan sinar gamma itu tergolong sangat kecil. Bandingkan dengan makanan yang diawetkan dengan paparan sinar gamma yang mencapai 10.000 gray. Oleh karena itu, Ali berpendapat, iradiasi tersebut tak akan menghasilkan mutan dan tak akan berpengaruh pada hewan pemangsa nyamuk dalam rantai mangsa.
Penembakan sinar gamma langsung ke tubuh nyamuk lebih efektif dibandingkan dengan melakukannya pada larva. Larva nyamuk berada di air sehingga menghambat iradiasi. Nyamuk, sejak usia satu hari, sudah memungkinkan untuk dimandulkan.
Nyamuk-nyamuk itu kemudian dilepaskan di rumah-rumah penduduk dengan perbandingan sembilan nyamuk jantan mandul per satu ekor nyamuk di tiap rumah. Artinya, jika ditemukan lima ekor nyamuk, ada 45 nyamuk jantan dilepaskan.
Nyamuk-nyamuk mandul hanya akan mengganggu populasi nyamuk Aedes aegypti karena telur-telur yang dihasilkan nyamuk betina tidak akan terbuahi. Secara teori, otomatis jumlahnya di alam akan berkurang.
Di lapangan, perlakuan seperti itu berlangsung satu kali sepekan dalam lima minggu berturut-turut di tiga tempat, yaitu di Kota Salatiga, Kabupaten Banjarnegara, dan Bangka Barat. Meski dengan kondisi geografis berbeda, cara tersebut menunjukkan hasil serupa. Populasi nyamuk menurun hingga 95,23 persen. Kondisi itu bertahan 3-6 bulan hingga kasus DBD kembali muncul.
Idealnya, lanjut Ali, perlakuan sama harus diulang dalam kurun waktu 3-6 bulan kemudian. Ini jauh lebih efektif ketimbang teknik pengasapan insektisida, yang biasanya hanya bertahan 30 menit dan tak mampu mematikan larva.
Biaya yang dibutuhkan juga jauh lebih murah ketimbang pengasapan. Untuk lima kali pelepasan nyamuk di 100 rumah, misalnya, hanya dibutuhkan biaya Rp 180.000. Bandingkan dengan pengasapan yang bisa mencapai Rp 1 juta dengan frekuensi yang sama.
Masyarakat pun tidak perlu khawatir karena nyamuk jantan tak mengisap darah manusia seperti nyamuk betina yang membutuhkannya untuk mematangkan telur-telurnya. Nyamuk jantan lebih sering hinggap di tanaman dan mengambil sari-sari bunga.
Pada awalnya agak sulit karena banyak orang justru ketakutan ketika rumah mereka disebar nyamuk meskipun itu adalah nyamuk jantan yang tidak pernah hinggap di tubuh manusia, ujar Ali.
Meskipun populasi nyamuk Aedes aegypti berkurang, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir (B2P2VRP) Bambang Heriyanto mengungkapkan, tak dapat disimpulkan bahwa kasus DBD ikut berkurang.
Banyak faktor yang mengakibatkan kasus DBD terjadi. Walaupun lingkungan rumah sudah steril, seseorang dapat terkena virus di lokasi lain,” ujar dia.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Salatiga Sovie Harjanti menyebutkan, di Kota Salatiga, hingga September 2012, ada 15 kasus DBD ditemukan. Angka kasus terus turun sejak 2010 yang mencapai 155 kasus. Tahun 2012, wilayah endemis DBD yang dijadikan lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Sidorejo Lor dan Kelurahan Blotongan, tidak lagi ditemukan kejadian DBD.
Namun, saya belum dapat menyimpulkan menurunnya angka kasus ini karena uji coba tersebut atau faktor lain. Sebab, cuaca juga mendukung, saat ini musim kemarau lebih panjang,” kata Sovie.
Dikaji lama
Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementerian Kesehatan Winarno mengungkapkan, pihaknya masih akan mengkaji metode TSM untuk dimasukkan dalam kebijakan. ”Kami perlu berhitung juga, seberapa besar biayanya, dikalikan siklus berapa kali pelepasan harus dilakukan dalam satu tahun, di wilayah mana saja, perlu nyamuk berapa banyak,” ujarnya. Tahun 2008, pengkajian ini sebenarnya sudah dimulai.

Ia mengatakan, TSM kemungkinan akan menjadi salah satu alternatif penanggulangan DBD. Sebab, selama ini, program pemberantasan sarang nyamuk serta pengasapan masih banyak memiliki kelemahan. Penanggulangan DBD akan lebih optimal jika disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan masyarakat setempat.
Secara nasional, angka kasus DBD ditargetkan maksimal apabila mencapai angka 55 kejadian per 100.000 jiwa pada tahun 2014. Winarno optimistis target itu tercapai karena mulai tahun 2011 dan 2012, kasus DBD rata-rata menurun.
Apa pun hasilnya, TSM merupakan cara lain pemanfaatan teknologi nuklir, selain untuk pembangkit listrik yang hingga kini diliputi pro-kontra.

artikel Fenomena biologi



HUJAN KODOK DI ISHIKAWA JEPANG
           
            Hujan kodok di Jepang menjadi sebuah fenomena tersendiri yang beberapa waktu lalu sempat membuat geger warga yang tinggal di kawasan Jepang. Kehebohan yang disebabkan oleh hujan kodok di Jepang tersebut memang wajar. Mengingat hujan pada umumnya berbentuk tetesan-tetesan air.
            Fenomena ajaib yang berkenaan dengan alam ini terjadi pada Juni 2009 lalu. Hujan kodok di Jepang ini tepatnya terjadi di beberapa kawasan, yaitu  Taiwa, Nakanoto, Asahi, dan Kuki. Kawasan itu merupakan “kawasan terpilih” yang di singgahi oleh segerombolan kodok ajaib yang jatuh dari langit.

           
            Kodok yang berjatuhan dari langit dan orang-orang mengenalnya sebagai fenomena hujan kodok di Jepang itu tidak berbentuk kodok yang besar. Kodok yang jatuh berbentuk seperti anak kodok atau masyarakat Indonesia mengenalnya dengan istilah kecebong. Bentuknya pipih, lengkap dengan buntut. Persis seperti gambaran kecebong pada umumnya. Kodok tersebut diperkirakan memiliki kurang lebih 5cm.
            Hujan kodok di Jepang yang sempat meresahkan warganya terjadi selama beberapa hari. Peristiwa tersebut jatuh pada hari yang berdekatan, anatara 9, 15, 16, dan 17 Juni 2009 lalu, Tn. Ishikawa, di kota Nakanoto.
            Hujan kodok di Jepang yang cukup mengherankan tersebut juga memiliki penjelasan ilmiah. Belakangan ini masyarakat dunia dihebohkan dengan isu tentang pemanasan global atau perubahan cuaca yang cukup ekstrem, dan perubahan cuaca dan tidak menentu di negara Sakura. Isu itulah yang kemudian dicurigai sebagai penyebab terjadinya hujan kodok tersebut.
            Menurut sebuah siaran acara televisi di Jepang yang khusus mengabarkan berbagai fenomena kerusakan alam. Kejadian luar biasa yang menimpa negaranya ini terjadi akibat kerusakan lingkungan yang tidak bisa lagi ditolerir. Bahwa hujan kodok di Jepang ini terjadi akibat adanya sebuah pusaran angin yang cukup besar. Pusaran tersebut biasanya berada di atas permukaan air, seperti sungai, rawa dan danau.
            Pusaran angin itulah yang dicurigai mampu mengangkat hewan-hewan yang ada di dalamnya. Mengingat ukuran kecebong tidak terlalu besar, maka hewan kodok itulah y6ang bisa terbawa dan terangkut dalam jumlah yang cukup banyak untuk kemudian “ditumpahkan” ke kawasan-kawasan yang menjadi tempat kejadian perkara. Tinggi dan kencangnya fenomena pusaran air ini pun diamini oleh FAO sebagai akibat dari pencemaran lingkungan.
            Fenomena hujan kodok di Jepang ini ternyata juga pernah dialami oleh negara lain. Kejadian ini bahkan terjadi jauh sebelum kodok-kodok itu berjatuhan di Jepang. Negara Inggris dan Serbia menjadi dua negara dengan pengalaman fenomena yang sama. Dua negara itu sudah lebih dulu merasakan atmosfir kehebohan yang dilahirkan dari kodok-kodok tersebut. Negara Serbia mengalaminya pada tahun 2005 lalu, sementara Inggris sudah mengalaminya pada tahun 1998 lalu.
            Bumi, sebagian besar terdiri dari air. Pusaran-pusaran air itupun menjadi satu hal yang mungkin terjadi di mana saja. Tidak terbatas pada satu kawasan teritorial tertentu. Fenomena hujan kodok di Jepang ini bisa saja beberapa tahun ke depan ikut dirasakan oleh warga yang ada di Indonesia. Hal itu tentu saja akan semakin cepat terjadi, jika kebersihan lingkungan masih tetap disepelekan.
            Hujan kodok di Jepang – fenomena alam yang biasa. Wajar rasanya jika hujan kodok di Jepang yang terjadi beberapa waktu lalu menjadi sebuah fenomena yang cukup meresahkan, karena seperti yang kita tahu, hujan merupakan sebuah proses alamiah yang berkenaan dengan perubahan gas menjadi menjadi zat cair. Gas yang terbawa angin hingga mencapai atmosfir dengan suhu lebih rendah kemudian mencair secara perlahan.
           
            Lalu, bagaimana hujan kodok di Jepang itu bisa terjadi? Apakah kodok mengalami proses yang sama dengan gas yang kemudian mencair? Para peneliti pun menjadikan itu sebagai bahan penelitian. Mereka mempelajari bagaimana sesungguhnya hujan kodok di Jepang itu bisa terjadi. Secara kebetulan kodok juga menjadi binatang yang dianggap cukup menjijikan bagi sebagian orang. Hujan kodok di Jepang ini menjadi fenomena yang tidak dialami oleh setiap negara.
            Tahukah anda jika ternyata menurut beberapa ahli sering berurusan dengan masalah cuaca dan seluk beluknya, hujan kodok di Jepang benar-benar bisa terjadi kapan saja dan tidak menutup kemungkinan untuk terjadi di negara lain. Apa yang dikatakan oleh para ahli tersebut mengenai fenomena hujan kodok di Jepang itu seharusnya sudah cukup menjadi obat “penenang” bagi kehebohan yang sempat terjadi akibat peristiwa itu.
           
            Selayaknya seseorang yang tidak disengaja jatuh dari ketinggian, kodok-kodok pada fenomena hujan kodok di Jepang itu juga jatuh dengan gerakan yang cukup agresif, seolah sedang berusaha melawan gravitasi. Gerakan agresif itu menunjukkan bahwa mereka hidup, dan merasa terancam dengan jarak yang cukup tinggi. Tak jarang juga para saksi mata menemukan bahwa kodok yang jatuh dari langit itu masih dalam keadaan terbungkus bongkahan es.
            Keadaan yang dialami kodok pada hujan kodok di Jepang itu menunjukkan bahwa mereka “dating” dari suhu yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan suhu di sekelilingnya. Suhu yang rendah itu kemudian membawa kodok-kodok tersebut ke daerah dengan suhu yang lebih tinggi. Akibatnya kodok itupun terjatuh karena penyesuaian suhu.
            Anda mungkin penasaran bagaimana tanda-tanda sebelum hujan kodok di Jepang itu terjadi. Apakah memiliki tanda-tanda yang sama dengan hujan pada umumnya atau tidak?. Fenomena yang masih cukup membuat takjub itu ternyata memiliki tanda-tanda yang sama dengan hujan pada umumnya. Langit akan berubah menjadi mendung, dan hujan aneh itu pun terjadi, biasanya bersamaan dengan petir dan angin yang cukup kencang.