Spesies Terbaru
Snub-Nosed Monkey (Monyet Hidung Pesek)
Setiap
bulan Mei, International Institute for Species Exploration yang
bertempat di Arizona State University (ASU), bersama dengan International
Committee of Taxonomists, mengumumkan beberapa pilihannya mengenai 10
terbaik penemuan spesies terbaru yang secara resmi telah diakui pada tahun
sebelumnya. Para peserta diperbolehkan untuk menggambarkan kriterianya oleh
mereka sendiri, dan proses penamaannya bisa berdasar dari hal-hal unik untuk
pemberian nama dari spesies tersebut.
Waktu
pengumuman tersebut disesuaikan untuk merayakan hari ulang tahun Carolus
Linnaeus yang jatuh pada tanggal 23 Mei. Dialah yang telah mengembangkan
sistem penamaan tumbuhan dan hewan secara ilmiah sejak 250 tahun yang lalu.
jika
kita tidak menempatkan dan memasukkan mereka ke dalam keanekaragaman hayati
supaya mereka dapat dikenal dan memberikan nama untuk mereka untuk menunjukkan
kontribusi mereka yang unik di keragaman ekologi dan proses evolusi, maka kita tidak
bisa berharap kepada orang lain untuk menghargai keberadaan mereka”, kata
Quentin Wheeler, rektor dari Arizona State University (ASU) di sebuah
emailnya.
Wheeler
berkata, “Umat manusia perlu diingatkan juga bahwa mereka adalah 1 dari 12 juta
spesies makhluk hidup yang hidup di muka bumi ini”.
Seorang
pria memperlihatkan salah satu spesies hewan baru yaitu monyet hidung pesek
(snub-nosed monkey) yang terbunuh saat dia mencari makan di Myanmar (Burma)
pada tahun 2010.
Hal
pertama yang dipelajari oleh para ilmuwan yaitu “Snubby’, yang merupakan
julukan bagi spesies kera baru, yang di dapatkan dari pemburu di tempat-tempat
terpencil di Myanmar, wilayah pegunungan Kachin.
Julukan
lain untuk hewan ini yaitu Rhinopithecus strykeri, binatang aneh yang
memiliki bibir tebal, berhidung seperti terbalik, dan mempunyai cara bernafas
yang aneh, yaitu apabila air hujan jatuh pada hidung mereka maka pasti akan
menyebabkan mereka bersin, sehingga mereka menghabiskan hari-hari mereka pada
waktu musim hujan dengan menyelipkan kepala mereka diantara lutut mereka.
Nyamuk Mandul Dapat Memberantas DBD
Metode
pengasapan insektisida untuk memberantas nyamuk demam berdarah dengue belumlah
optimal, bahkan membuat nyamuk Aedes aegypti — vektor DBD — menjadi resistan.
Kini, ada alternatif mengurangi populasi nyamuk, yakni menebarkan nyamuk-nyamuk
mandul.
Bergelut
dengan nyamuk sejak tahun 2004, Ali Rahayu, peneliti pada Pusat Aplikasi
Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), membuktikan,
teknologi serangga mandul (TSM) mampu mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti.
Teknologi serupa sebelumnya sukses diterapkan pada eradikasi lalat ternak
Cochliomyia hominivorax di Pulau Curacao, Amerika Serikat, tahun 1958-1959. Di
Indonesia, penelitian fokus pada pengendalian populasi lalat buah Bactrocera
carambolae serta nyamuk vektor DBD dan malaria.
Secara
teknis, nyamuk jantan dimandulkan dengan diberi paparan radiasi sinar gamma
sebesar 70 gray. Nyamuk dimasukkan dalam tabung-tabung kaca berukuran sama dan
diletakkan dalam jarak tertentu dari sumber radiasi. Dua menit saja, ratusan
hingga ribuan nyamuk menjadi mandul karena kerja sperma mereka terganggu.
Paparan
sinar gamma itu tergolong sangat kecil. Bandingkan dengan makanan yang
diawetkan dengan paparan sinar gamma yang mencapai 10.000 gray. Oleh karena
itu, Ali berpendapat, iradiasi tersebut tak akan menghasilkan mutan dan tak
akan berpengaruh pada hewan pemangsa nyamuk dalam rantai mangsa.
Penembakan
sinar gamma langsung ke tubuh nyamuk lebih efektif dibandingkan dengan
melakukannya pada larva. Larva nyamuk berada di air sehingga menghambat
iradiasi. Nyamuk, sejak usia satu hari, sudah memungkinkan untuk dimandulkan.
Nyamuk-nyamuk
itu kemudian dilepaskan di rumah-rumah penduduk dengan perbandingan sembilan
nyamuk jantan mandul per satu ekor nyamuk di tiap rumah. Artinya, jika
ditemukan lima ekor nyamuk, ada 45 nyamuk jantan dilepaskan.
Nyamuk-nyamuk
mandul hanya akan mengganggu populasi nyamuk Aedes aegypti karena telur-telur
yang dihasilkan nyamuk betina tidak akan terbuahi. Secara teori, otomatis
jumlahnya di alam akan berkurang.
Di
lapangan, perlakuan seperti itu berlangsung satu kali sepekan dalam lima minggu
berturut-turut di tiga tempat, yaitu di Kota Salatiga, Kabupaten Banjarnegara,
dan Bangka Barat. Meski dengan kondisi geografis berbeda, cara tersebut
menunjukkan hasil serupa. Populasi nyamuk menurun hingga 95,23 persen. Kondisi
itu bertahan 3-6 bulan hingga kasus DBD kembali muncul.
Idealnya,
lanjut Ali, perlakuan sama harus diulang dalam kurun waktu 3-6 bulan kemudian.
Ini jauh lebih efektif ketimbang teknik pengasapan insektisida, yang biasanya
hanya bertahan 30 menit dan tak mampu mematikan larva.
Biaya
yang dibutuhkan juga jauh lebih murah ketimbang pengasapan. Untuk lima kali
pelepasan nyamuk di 100 rumah, misalnya, hanya dibutuhkan biaya Rp 180.000.
Bandingkan dengan pengasapan yang bisa mencapai Rp 1 juta dengan frekuensi yang
sama.
Masyarakat
pun tidak perlu khawatir karena nyamuk jantan tak mengisap darah manusia
seperti nyamuk betina yang membutuhkannya untuk mematangkan telur-telurnya.
Nyamuk jantan lebih sering hinggap di tanaman dan mengambil sari-sari bunga.
Pada
awalnya agak sulit karena banyak orang justru ketakutan ketika rumah mereka
disebar nyamuk meskipun itu adalah nyamuk jantan yang tidak pernah hinggap di
tubuh manusia, ujar Ali.
Meskipun
populasi nyamuk Aedes aegypti berkurang, Kepala Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir (B2P2VRP) Bambang Heriyanto mengungkapkan,
tak dapat disimpulkan bahwa kasus DBD ikut berkurang.
Banyak
faktor yang mengakibatkan kasus DBD terjadi. Walaupun lingkungan rumah sudah
steril, seseorang dapat terkena virus di lokasi lain,” ujar dia.
Kepala
Dinas Kesehatan Kota Salatiga Sovie Harjanti menyebutkan, di Kota Salatiga,
hingga September 2012, ada 15 kasus DBD ditemukan. Angka kasus terus turun
sejak 2010 yang mencapai 155 kasus. Tahun 2012, wilayah endemis DBD yang
dijadikan lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Sidorejo Lor dan Kelurahan
Blotongan, tidak lagi ditemukan kejadian DBD.
Namun,
saya belum dapat menyimpulkan menurunnya angka kasus ini karena uji coba
tersebut atau faktor lain. Sebab, cuaca juga mendukung, saat ini musim kemarau
lebih panjang,” kata Sovie.
Dikaji
lama
Direktur
Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementerian Kesehatan Winarno
mengungkapkan, pihaknya masih akan mengkaji metode TSM untuk dimasukkan dalam
kebijakan. ”Kami perlu berhitung juga, seberapa besar biayanya, dikalikan
siklus berapa kali pelepasan harus dilakukan dalam satu tahun, di wilayah mana
saja, perlu nyamuk berapa banyak,” ujarnya. Tahun 2008, pengkajian ini
sebenarnya sudah dimulai.
Ia
mengatakan, TSM kemungkinan akan menjadi salah satu alternatif penanggulangan
DBD. Sebab, selama ini, program pemberantasan sarang nyamuk serta pengasapan masih
banyak memiliki kelemahan. Penanggulangan DBD akan lebih optimal jika
disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan masyarakat setempat.
Secara
nasional, angka kasus DBD ditargetkan maksimal apabila mencapai angka 55
kejadian per 100.000 jiwa pada tahun 2014. Winarno optimistis target itu
tercapai karena mulai tahun 2011 dan 2012, kasus DBD rata-rata menurun.
Apa
pun hasilnya, TSM merupakan cara lain pemanfaatan teknologi nuklir, selain
untuk pembangkit listrik yang hingga kini diliputi pro-kontra.